UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di 
RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, 
Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani 
menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua 
belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya. 
Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena 
leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya 
adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau 
putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang. 
Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, 
sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, 
atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. 
Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia 
lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi 
keunguan. 
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?” 
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.” 
 “Bukan dalam mimpi?” 
  “Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.” 
Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia. 
 “Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta 
darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia
 berusaha meyakinkan. 
Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum 
mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman 
kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di 
sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan
 toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan 
serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan 
taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, 
mencari mawar berwarna biru. 
 “Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang 
membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya. 
 “Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.” 
 “Tapi, Novia pernah melihatnya.” 
 “Bunga kertas kali!” 
 “Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. 
Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.” 
 “Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?” 
Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak 
akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan 
tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa
 mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang
 melihatnya hanya dalam mimpi?
* * *
NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman 
Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – 
pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap 
dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa 
memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. 
“Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!' maka ‘jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya. 
 “Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah
 sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda 
tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit. 
Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus 
robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau 
bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel 
ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, 
bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba 
bersuara parau: 
“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?” 
“Minta tolong apa, Pak?” 
“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.” 
Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja. 
“Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang
 buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, 
bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak 
jadi korban mereka.” 
“Bapak mau pulang sekarang?” 
“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?” 
Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, 
tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai 
rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin 
lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun 
lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk 
menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu. 
“Bapak tinggal di kampung apa?” 
“Di kampung seberang.” 
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?” 
“Kereta api listrik.  Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, 
tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut 
kebablasan lagi.” 
Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik 
KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu
 langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa 
menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis 
bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau 
kepergok kawannya 
“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk 
menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling 
atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak 
laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu. 
                                    *** 
TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki 
tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak 
menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang 
apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, 
hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa 
sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna 
biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan. 
“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.” 
Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar 
biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan 
setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan 
dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya 
dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau 
parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki 
tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya: 
“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.” 
Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada 
siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di 
belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap
 sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu 
raib begitu saja, pikirnya. 
Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa 
lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. 
Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang
 Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar 
menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya. 
                                    *** 
SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir 
oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang 
sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur 
cepat ke sana . 
Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah 
merah,  hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona 
wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah
 cemas. 
Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik 
di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru 
yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.” 
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya. 
“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih. 
“Ini.” 
Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan 
ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona
 wajahnya menjadi segar. 
“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam 
mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. 
Aku akan memakannya.” 
Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya.
 Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia 
memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang
 tersisa.
Plaosan,06 Maret 2013 
 

 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar